MAKALAH: MUHAMMAD SHODIK UINSA surabaya
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Pidana atau Fiqh Jinayah merupakan
bagian dari syari’at islam yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah saw. Oleh
karenanya pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam
berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh
pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.
Walaupun dalam kenyataannya, masih
banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang apa dan bagaimana hukum
pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya
disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini
pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan
hukum ta’zir, berikut dengan pengertian, dan dasar hukum yang meliputinya.
Ta’zir, adalah jarimah yang belum ada
ketentuan nasnya dalam Al-Qur’an. Belum
ditentukan seberapa kadar hukuman yang akan diterima oleh si tersangka/si
pelaku kejahatan. Jarimah ta’zir lebih di tekankan pada hukuman yang diberikan
oleh pemerintah/kekuasaan mutlak berada di tangan pemerintah tapi masih dalam
koridor agama yang tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah swt.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian ta’zir
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata
“azzara” yang berarti menolak dan mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan
dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong. Dari pengertian
tersebut yang paling relevan adalah pengertian pertama yaitu mencegah dan
menolak, dan pengertian kedua yaitu mendidik. Karena ia dapat mencegah pelaku
agar tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Ta’zir diartikan mendidik, karena ta’zir dimaksudkan
untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya
kemudian meninggalkan dan menghentikannya.
1) Hadis
Tentang Hukuman Ta’zir
a.) Hadits Nabi Tentang Ta’zir yang
diriwayatkan oleh Burdah :
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ اَلْأَ نْصَارِيِّ رضي الله
عنه أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( لَا يُجْلَدُ
فَوْقَ عَشَرَةِ أَسْوَاطٍ, إِلَّا فِي حَدِّ مِنْ حُدُودِ اَللَّهِ )
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
1)
Terjemah
Dari
Abu Burdah al-anshori bahwa ia mendengar Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Tidak boleh dicambuk lebih dari sepuluh cambukan, kecuali
jika melanggar suatu had (hukuman) yang ditentukan Allah Ta'ala."
Muttafaq Alaihi.
2)
Kualitas Hadis
Hadis
ini shoheh, dilihat dari perawinya.
3)
Mufrodad
Sepuluh kali cambuk = عشرة
اسواط
4)
Kandungan Hukum
Hadis
diatas menetapkan hukuman ta’zir, berdasarkan firman Allah dalam surat An’nus;
ayat 2.
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( wur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ( ôpkô¶uø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
“Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman”.
5)
Penjelasan
Untuk selain dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan
40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum pukul lebih dari 10 dera (ta’zir). Ini
berarti hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada
pertimbangan hakim. Orang yang dikenakan hukum oleh hakim muslim sebanyak 10
kali cambuk berdasarkan hadis di atas dapat dimasukkan dalam hukuman ringan
yang disebut dengan hukum ta’zir.
Hukuman ta’zir ini dapat dilakukan menurut keputusan
hakim muslim misalnya karena mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan
sebagainya. Dengan demikian hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari 40
kali dera yang memang sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum
minuman keras. Berarti dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman
ta’zir (yaitu dipukul yang keras).
Jadi orang yang melakukan peerbuatan-perbuatan yang
melanggar hukum syariat yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina
dengan lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40
kali) dan lainnya adalah termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut
dengan hudud (Hukum Allah). Adapun yang lebih ringan disebut ta’zir yang
dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim. Yang dimaksud had disini adalah
had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah ditetapkan dalam syariah.
Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk perbuatan yang
diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus dita’zir
sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang dilakukannya.
b.) Hadits Nabi Tenteng ta’zir yang diriwayatkan
oleh ‘Aisyah :
وَعَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (
أَقِيلُوا ذَوِي اَلْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إِلَّا اَلْحُدُودَ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ.
وَعَنْ عَلِيٍّ رضي الله عنه قَالَ: ( مَا كُنْتُ لِأُقِيمَ عَلَى أَحَدٍ حَدًّا,
فَيَمُوتُ, فَأَجِدُ فِي نَفْسِي, إِلَّا شَارِبَ الْخَمْرِ; فَإِنَّهُ لَوْ مَاتَ
وَدَيْتُهُ ) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ
1) Terjemah
Dari 'Aisyah
Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Ampunilah
orang-orang yang baik dari ketergelinciran (berbuat salah yang tidak disengaja)
mereka, kecuali melanggar had." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i dan
Baihaqi. Ali Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku tidak menjalakan had kepada
seseorang kemudian ia mati dan aku berduka cita, kecuali peminum arak.
Sesungguhnya jika ia mati, akan kubayar dendanya. Riwayat Bukhari.
2) Kualitas
Hadis
Hadis ini Hasan dilihat
dari perawinya.
3) Mufrodad
§ Ampunkanlah
= اقيلوا
Iqalah
(Aqi-lu) menurut pengertian asalnya adalah kesepakatan penjual atas pembatalan
penjualan. Dan dimaksudkan disini adalah kesepakatan orang baik-baik itu untuk
meninggalkan hukuman atasnya atau peringanan hukumannya.
§ Orang-orang
yang baik = ذوى هيئا ت
Ditafsirkan
Imam Syafi’i dengan orang-orang yang tidak diketahui berbuat jelek yang pada
suatu ketika dia berbuat salah.
§ Kegelinciran
= عسراتهم
Atsarat
adalah jamak dari kata “Atsarah” (tergelincir), tetapi yang dimaksud disini
adalah kesalahan. Al-Mawardi meriwayatkan tentang hal itu dengan 2 pengertian,
yaitu :
a. Mereka
itu hanya melakukan dosa-dosa kecil saja
b. Baru
pertama kali berbuat ma’siat yang menjadikan tergelincirnya orang yang biasa
patuh.
4) Kandungan
Hukum
Menurut Qalyubi, ta’zir pada syara’ adalah memberi
adab kepada pelaku dosa yang tidak ada had dan kifarat, keterangan lainnya
ta’zir dilaksanakan oleh pemerintah yang diberi kewenangan terhadap pelaku
pelanggaran yang berakibat dosa. Sedangkan jenis ta’zir diserahkan pada ijtihad
pemerintah.
Adapun dalil dalil pelaksanaan ta’zir sebagai
berikut dalam Firman Allah Q.S. An-Nisa’ : 34.
4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
Terjemah:“
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Q.S. An-Nisa’ : 34
5) Penjelasan
Maksudnya, bahwa orang-orang baik,
orang-orang besar, orang-orang ternama. Mengatur tentang teknis pelaksanaan
hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya,
tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.
Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukan kepada para
pemimpin/para tokoh, karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zir,
sesuai dengan luasnya kekuasaan mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha
memilih yang terbaik, mengingat hal itu akan berbeda hukuman ta’zir, sesuai
dengan perbedaan tingkatan pelakunya dan tingkat pelanggarannya. Tidak boleh
pemimpin menyerahkan wewenang pada petugas dan tidak boleh kepada selainnya.
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar
hukum untuk jarimah dan hukuman ta’zir antara lain tindakan Sayyidina Umar ibn
Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelentangkan seekor kambing untuk
disembelih, kemudian ia tidak mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul orang
tersebut dengan cemeti dan ia berkata: ”Asah dulu pisau itu”.
Dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab
radhiyallahu ‘anhu mena’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan
mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula beliau
radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamr dan membakar suatu desa
yang menjadi tenpat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan
adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam
Ahmad rahimahumullah, adapun Imam Syafi’i mengatakan bahwa Hukum Ta’zir itu
tidak wajib
c) . Asbabul Wurud
Dalam hadits diatas, kami tidak
menemukan asbabul wurudnya.
d). Penjelasan
Pemakalah
Hukum
Ta’zir di dalam Islam harus dilaksanakan pada setiap perbuatan maksiat yang
tidak ada hukuman had ataupun ketentuan membayar kafaratnya. Karena, perbuatan
tersebut termasuk kategori perbuatan yang terlarang dalam syariat. Pelaksanaan
hukuman ta’zir berbeda-beda sesuai dengan kejahatan yang diperbuat, sebab
kejahatan sendiri ada bermacam-macam, dari yang ringan sampai yang berat.
Bentuk hukuman ta’zir tidak boleh dengan cara memotong janggut seseorang.
Sebab, hukuman ini bisa masuk kedalam kategori pelecehan dan penghinaan. Tidak
boleh juga menjatuhkan ta’zir dengan cara yang dilarang agama seperti menyiram
pelaku dengan khamr dan minuman keras. Dikarenakan hukuman ta’zir harus
dilakukan dengan cara yang tidak bertentangan dengan syariat demi menciptakan
kemaslahatan.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian singkat tentang ta’zir di
atas, terdapat hal-hal yang menarik perhatian kita untuk dikaji lebih jauh,
baik yang berkaitan tentang pengertian atau definisi hingga pendapat para
fuqaha tentang hal-hal yang berkaitan, yaitu :
- Kita dapat menyimpulkan bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling ringan dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini pun memiliki tingkat kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim.
- Rasulullah melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah ta’zir di tujukan untuk mendidik agar pelaku tidak melanggar itu kembali.
DAFTAR
PUSTAKA
v Shan’Ani
ASH, Terjemah Subulus Salam, jilid 3, Surabaya: Al-Ikhlas. 1996
v Bahreisj,
Hussein, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, Jakarta : Widjaya, 1983
v Al-Asqalany,
Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Bandung : CV. Penerbit Diponegoro,
2002, Cet. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar