makalah; muhammad shodik UIN SAUNAN AMPEL surabaya
BAB I
PENDAHULUAN
1.
latar
belakang masalah
Jarimah adalah larangan-larangan Allah yang di ancam dengan hukuman
had atau ta’zir, perbuatan yang dilarang itu dapat berupa sesuatu yang yang
dilarang, dianggap jarimah apabila perbuatan tersebut telah dilarang oleh
syara’. Yang mendorong sesuatu itu di anggap jarimah adalah karena perbuatan
tersebut dapat merugikan kepada tata
urutan masyarakat atau kehidupan anggota masayarakat atau
pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara meskipun adakalanya
jarimah justru membawa keuntungan ini tidak menjadi pertimbangan syara’ oleh
karena itu syara’ melarang yang namanya jarimah karena dari segi kerugiannya
itulah yang di utamakan dalam pertimbangan. Jarang kita temukan perbuatan
membawa keuntungan semata-mata atau
menimbulkan kerugian semata tetapi setiap perbuatan akan membawa akibat
campuran, antara keuntungan dan kerugian, sesuai dengan tabi’atnya manusia akan
memilih banyak keuntungannya dari pada kerugiannya meskipun akan merugikan
masyarakatnya.
Di dalam membahas jarimah kita akan menemukan yang namanya unsur
materiil jarimah yaitu perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada
individu atau masyarakat. Dalam unsur jarimah zina unsur materiilnya adalah
adalah hal yang merusak keturunan, sedangkan dalam jarimah pembunuhan unsur
materiilnya adalah hal atau perbuatan yang menghilangkan nyawa seseorang. Unsur
materiil ini akan mencakup tiga masalah
pokok yaitu tentang jarimah yang telah selesai, jarimah yang belum selesai atau
percobaan dan turut serta dalam melakukan jarimah.
Di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah
selesai di lakukan dan adakalnya tidak selesai karena ada sebab-sebab tertentu
dari luar. Dalam hukum positif jarimah yang tidak selesai ini disebut perbuatan
percobaan (الشروع). Disamping itu perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang
saja maupun beberapa orang bersama-sama dengan orang lain yang di sebut dengan
turut serta melakukan jarimah (الاءشتراك).
2.
Permasalahan
Dalam makalah ini ada beberapa permasalahan yang akan di bahas,
diantaranya:
1)
Percobaan melakukan jarimah dan hukumannya
2)
Fase pelaksanaan jarimah
3)
Macam-macam tidak selesainya perbuatan jarimah dan hukumannya
BAB II
PERCOBAAN MELAKUKAN
JARIMAH
A. Pengertian Jarimah
Pengertian
jinayah dalam bahasa indonesia di artikan sebagai tindakan yang salah,
dari segi bahasa jatimah merupakan kata jadian(masdar) dengan kata asal jaramah
yang artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arati perbuatan
salah.[1]
Dari segi istilah, Al-Mawardi mendefinisikan jarimah:
مَحْظُوْارَتٌ
شَرْعِيَّةُ زَجَرَاللّه تَعَلئ عَنْهَابِخَدًّاَوْتَعْزِيْرِ
Larangan-laranagan
syara’ yang di ancam oleh ALLAHdengan hukuman had atau ta;zir.
B. Percobaan Melakukan Jarimah
Dalam
Pasal 45 kitab undang-undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan tentang pengertian
percobaan sebagai berikut:
الشُّرُوْعُ...بِأَنَّهُ
البَدْءُفِى تَنْفِيْذِفِعْلِ بِقَصْدِارْتِكَابِ جِنَايَتةٍإذَاأوْقَفَ أوْخَابَ
أثَرُهُ لِأَسَبَابِ لاَدخْلَل لِإِرَادةِالفَاعِلِ فيهَا.
Percobaan
adalah mulai melaksanakan suatau perbuatan dengan makasud melakukan (jinayah
atau jinhah), tetapai perbuatan tersebut teidak selesai atau berhenti karena
ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku.[2]
ان
الش وع في الجريمةلايعاقب عليه بقصاص ولاحدوانما يعاقب عليه بالتعزيراياكان نوعالجريمة
Percobaan
melakukan jarimiah, apapun jarimiahnya, tidak bisa dikenai hukuman qishash atau
hudud melainkan ta’kzir.[3]
Kaidah
ini mengandung arti bahwa percobaan melakukan jarimah hudud atau qisas
tidaka dapat dikategorikan telah melakukan jarimah tersebut secara
sempurna sehingga tidak bisa dikenai had atau qishash, melainkan takzir.
Hukuman itu pun diberikan jika diantara rangkaian percobaan tersebut telah
dapat dikategorikan perbuatan maksiad.
1. Percobaan Menurut Para Fuqoha
Istilah
percobaan dikalangan tidak kita dapati. Akan tetapi, apabila definisi tersebut
ita perhatikan maka apa yang dimaksud dengan istilah tersebut juga terdapat
pada mereka, karena dikalangan mereka juga dibicarakan tentang pemisahan antara
jarimahyang sudah selesai dan juga jarimah yang tidak selesai. Tidak
adanya perhatian para fuqaha secara khusus terhadap jarimah percobaan
oleh kedua hal.
1) Percobaan melakukan jarimah tidak
dikenakan hukuman had atau qisas. Melainkan dengan hukuman
tak’zir bagaimanapun macamnya jarimah-jarimah itu. Para fuqaha
lebih banyak memperhatikan jarimah-jarimah hudud dan qishash, karna unsur dan syarat-syaratnya
sudah tetap tanpa mengalami perubahan. Takzir juga dapat mengalami perubahan
sesuai dengan perubahan masyarakat. Oleh karena itu, para fuqaha tidak
mencurahkan perhatian dan pembicaraan secara khusus dan tersendiri karena
percobaan melakukan jarimah sudah termasuk jarimah ta’zir.
2) Dengan
adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara’tantang hukuman untuk jarimah
ta’zir maka aturan-aturan yang khusus utuk percobaan tidak perlu diadakan,
sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman
had atau khifarat. Percobaan yang pengertian sebagai mana dikemukakan di atas
adalah mulai melakukan suatu perbuatan yang dilarang tetapi tidak selesai,
termaksuk pada maksiat yang hukumannya adalah tak’zir. Dengan demikian,
percobaan sudah taermasuk kedalam kelompok ta’zir, sehingga para fuqaha tidak
membahas secara khusus.[4]
Pendiri hukum pidana
islam tenteng percobaan melakukan jarimah, lebih mencakup dari hukum
positif, dari hukum islam sendiri setiap perbuatan percobaan dikenakan hukuman
tanpa pengecualian, sedangkan dari hukum positif tidak semua percobaan
dikenakan hukuman.menurut Pasal 54 KUHPidana Indonesia yang ber bunyi: Mencoba
melakukan pelanggaran tidak dipidana..[5]
sedangkan dalam KUHP Mesir haya percobaan melakukan jarimah jinayah saja
yang dapat dikenakan hukuman, sedangkan percobaan melakukan jarimah
mukalafah tidak dikenakan hukuman (pasal 46 dan 47).[6]
2. Fase-fase Pelaksanaan Jarimah
‘Abd
al-Qadir ‘Awdah menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga fase dalam proses
melakukan perbuatan jarimah[7].
1) Fase pemikiran atau perencanaan(marhalat
al-tafkir)
Pemikiran dan
merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi
hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syariat islam, seseorang
tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau niat yang
tarkandunga dalam hatinya. Halini didasarkan Hadis Nabi saw.
عَنْ
أبى هُرَيْرَةَرضِى اللّه عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِىُّ ص م:إِنَّ اللّه
تَجَاوَزَلِى عَنْ أُمَّتِى مَاوَسَوَسَتْ بِهِ صُدُوْرُهَا مَالَمْ تَعْمَلْ
أَوْتَكَلَّم
Abu hurairah ra.
Barkata:Nabi saw, telah bersabda: “sesungguhnya Allah mengampuni umatku karna
aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belumdikerjakan atau
diucapkan.”[8]
Sedangkan hadis dari
ibnu abbas di sebutkan yang artinya: Ibnu abbas r.a., dari Nabi saw mengenai
apa yang difirmankan Allah, beliau bersabdah: Sesungguhnya Allah mencatat
amal-amal kebaikan, keburukan, dan diantara keduanya. Barangsiapa bermaksud
berbuat baik tapi belummelaksanakannya, maka Allah mencatat sepuluh atau tujuh
ratus kali lipat hingga tak terhingga. Barangsiapa bermaksud berbuat
buruk(jahad) tetapi ia tidak melaksanakannya, maka Allah mencatatnya sebagai
satu kebaikan yang sempurna. Jika ia melaksanakannya, maka Allah memcatat
sebagai suatu keburukan saja.[9]
Ketentuan
ini sudah terdapat dalam syari’at islam sejak mulai diturunkannya tanpa
mengenal pengecualian. Akan tetapi, hukum positif baru mengenalnya pada akhir
abad ke 18 Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis. Sebelum masa itu niat dan
pemikiran terhadap perbuatan jarimah dapat dihukum kalau dapat dibuktikan.[10]
Pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya.
Sebagai
contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara
pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa
yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama
dikenakan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan macam kedua.
KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap
pembunuhan biasa dikenakan hukuman kerja berat seumur hidup atau sementara
(pasal 230 dan 234).
Menurut
KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara
seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, dan
kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama lamanya lima
belas tahun.[11]
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 338 dan 340 KUH Pidana.
a. a Pasal 338: Barangsiapa dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima belas tahun.
b. b Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja
dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah
melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.[12]
2) Fase persiapan(marhalat al-tahdhir)
Pada
fase ini, posisi percoba’an ditentukan oleh sifat dari perbuatannya. Perbuatan
percobaan dapat dikategorikan percobaan jarimah jika perbuatan tersebut
termasuk perbuatan maksiat. Suatau perbuatan dapat dikategorikan perbuatan
maksiat jika perbuatan tersebut telah melanggar hak-hak Allah (jarimah)
dan hak-hak manusia. Pada fase ini terdapat dua kemungkinan. Pertama, kegiatan
persiapan belum dikategorikan perbuatan jarimah jika kegiatan persiapan
tersebut bukan maksiat. Kedua, kegiatan persiapan dikategorikan
perbuatan jarimah jika kegiatan persiapan tersebut termasuk perbuatan maksiat.[13]
Akan tetapi menurut mazhab
Hambali dan Maliki, perbuatan persiapan dianggap sebagai perantara kepada
perbuatan yang haram dan hukumnya adalah haram, sehingga dengan demikian
pelakunya dikenakan hukuman. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu
Zahrah: ”ibn Al Qayyin menegaskan bahwa perantara kepada yang haram adalah
haram dan perbuatan persiapan jelas merupakan perantara kepada yang haram,
sehingga hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman tetapi bukan dengan
hukuman pokoknya”.
Dengan demikian jelaslah bahwa
mazhab hambali sebagaimana digambarkan oleh Ibn Al Qayyim dan gurunya Ibn
Taimiyah, menganggap perantara kepada jarimah sebagai jarimah. Demikian juga
perbuatan-perbuatan persiapan yang disiapkan untuk membentuk dan melaksanakan
jarimah merupakan jarimah juga.[14]
3) Fase pelaksanaan(marhalat al-tahfidz)
Pada fase inilah perbuatan si
pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah
perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur materiil jarimah atau
tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa ma'siat, yaitu yang
berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan
pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut
dengan unsur materiil masih terdapat beberapa langkah lain. Pada pencurian
misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai
ma'siat yang dijatuhi hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai
percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudanya perbuatan pencurian masih
terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang
dari almari, dan membawanya keluar dan sebagainya. Jadi ukuran perbuatan dalam
percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa ma'siat.
Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk menentukan
apakah perbuatan itu ma'siat (salah) atau tidak. Dengan demikian kriteria untuk
menentukan permulaan pelaksanaan jarimah dan merupakan percobaan yang bisa
dihukum adalah apabila perbuatan tersebut sudah merupakan maksiat. Disamping
itu, niat dan tujuan pelaku juga sangat penting untuk menentukan apakah
perbuatan itu merupakan maksiat atau bukan.
Hukum positif sama pendapatnya
dengan hukum Islam tentang tidak adanya hukuman pada fase pemikiran atau
perencanaan dan persiapan serta membatasi hukuman pada fase pelaksanaan. Akan
tetapi, sarjana-sarjana hukum positif berbeda pendapatnya tentang penentuan
saat permulaan pelaksanaan tindak pidana itu. Sedangkan menurut aliran
objektif, saat tersebut adalah ketika pelaku melaksanakan perbuatan mareriil
yang membentuk suatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari satu
perbuatan juga maka percobaan jarimah itu adalah ketika memulai perbuatan
tersebut. Kalau jarimah tersebut terdiri dari dari beberapa perbuatan maka
memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah tersebut. Sedangkan
menurut aliran subjektif, untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila
pelaku telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang menunjukan kekuatan
maksudnya untuk melakukan kejahatan.[15]
3. Sebab Tidak Selesaianya Perbuatan
Suatu
perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan karena
salah satu dari dua hal sebagai berikut.
1) Adakalanya terpaksa, misalnya
tertangkap.
2) Adakalanya karena kehendak sendiri[16].
Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
a) Bukan karena taubat, dan
b) Karena taubat[17].
Kalau
tidak selesainya jarimah karena terpaksa maka pelaku tetap harus dikenakan
hukuman, selama perbuatan itu sudah bisa dikategorikan ma’siat. Demikian pula
kalau pelaku tidak menyelesaikan jarimahnya karena kehendak sendiri tetapi
bukan karena taubat. Akan tetapi,apabila tidak selesainya itu karena taubat dan
kesadaranya maka jarimahnya itu adakalanya jarimah hirabah dan adakalanya bukan
jarimah hirabah. Apabila jarimah itu jarimah hirabah maka pelaku dibebaskan
dari hukuman. Hal ini berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah 34:
wÎ) úïÏ%©!$# (#qç/$s? `ÏB È@ö6s% br& (#râÏø)s? öNÍkön=tã (
(#þqßJn=÷æ$$sù cr& ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÍÈ
kecuali
orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai
(menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang(surat Al-Maidah 34).
Apabila
jarimah itu jarimah bukan hirabah maka pengaruh taubat disini masih
diperselisihkan oleh para fuqoha. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1).Pendapat
fuqoha dari madzab Syafi’I dan Hambali, taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasanya
adalah:
a. Alquran menyatakan hapusnya hukuman
untuk jarimah hirabah, sedangkan jarimah hirabah adalah jarimah paling
berbahaya. Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman untuk jarimah yang paling
berbahaya maka lebih-lebih untuk jarimah yang lain.
b. Dalam menyebutkan beberapa jarimah,
Alquran selalu mengiringinya dengan pernyataan bahwa taubat dapat menghapuskan
hukuman. Misalnya dalam hukuman zina yang pertama kali diadakan dalam surah
An-Nisaa’ 16:
Èb#s%©!$#ur $ygÏY»uÏ?ù't öNà6ZÏB $yJèdrè$t«sù (
cÎ*sù $t/$s? $ysn=ô¹r&ur (#qàÊÌôãr'sù !$yJßg÷Ytã 3
¨bÎ) ©!$# tb$2 $\/#§qs? $¸JÏm§ ÇÊÏÈ
Dan
terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah
hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri,
Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang(Surah An-Nisaa;16).
2).Menurut
Imam Malik, Imam Abu Hanifah, taubat tidak menghapuskan hukuman, kecuali untuk
jarimah hirabah yang sudah ada ketentuanya. Karena kedudukan hukuman adalah
sebagai kifarat maksiat. Disamping itu kalau taubat semata-mata dapat hukuman
dapat terhapus, maka akibatnya ancaman hukuman tidak berguna, sebab setiap
pelaku jarimah tidak sukar mengatakan telah bertaubat.
3).Menurut
Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzab Hambali, hukuman dapat
membersihkan maksiat dan taubat dapat menghapus hukuman untuk jaarimah-jarimah
yang berhubungan dengan hak Allah (hak masyarakat), kecuali apabila pelaku
minta untuk di hokum maka ia bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah bertaubat.
Pendapat
Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim kelihatanya merupakan jalan tengan yang
mengompromikan pendapat pertama dan kedua yang saling bertentangan. Walaupun
demikian pengaruh taubat terhadap hukuman menurut pendapat kedua imam ini, hanya
berlaku dalam jarimah yang menyinggung hak masyarakat saja. Sedangkan dalam
jarimah yang menyinggung hak individu taubat tetap tidak berpengaruh terhadap
hukuman.[18]
4. Hukuman untuk Jarimah Percobaan
Menurut
ketentuan pokok dalam syariat Islam yang berkaitan dengan jarimah hudud
dan qisash, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah yang
telah selesai, tidak boleh diberlakukan untuk jarimah yang belum selesai
(percobaan). Ketentuan ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Al-Baihaqi dari Nu’mam ibnu Basyir bahwa rosullulah saw, bersabdah:
مَنْ
بَلَغَ حَدًافِى غَيْرِحَدٍّفَهُوَمِنْ المُعْتَدِيْنَ
Barang
siapa yang mencapai (melaksanakan) hukuman had bukan dalam jarimah hudud maka
ia termasuk orang yang melampaui batas.[19]
Percobaan
melakukan zina tidak boleh dihukum dengan had zina, yaitu jilid seratus kali
atau rajam. Demikian pula percobaan pencurian tidak boleh dihukum dengan had
pencurian, yaitu potong tangan. Dengan demikian, hukuman untuk jarimah
percobaan adalah hukuman ta’zir itu sendiri.
Dalam
KUHP Indonesia, hukuman untuk percobaan ini terancam dalam Pasal 53 ayat (2)
KUHPidana yang berbunyi:
1) Maksimum itu pidana pokok yang diancam
atas kejahatan itu dikurangi sepertiganya.
2) Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup maka dijatuhi pidana penjara
selama-lamanya lima belas tahun[20]
[1] Drs.Mahrus munajad.
M.Hum.dekontruksi hukum pidana.logung pustaka.2004.hal:3
[2] Drs.H.A Wardi Muslich.pengantar
dan asas hukum pidana islam.sinar grafik.2004.hal:60
[3] Dr.Jain Mubarok M.Ag,
Enceng Arif Faizal, S.Ag.kaidah fiqih jinayah.anggota IKPI. Jakarta.
2004. Hal: 177
[4] Drs.H.A Wardi Muslich.pengantar dan asas
hukum pidana islam.sinar grafik.2004.hal:96. Drs.H.A Wardi Muslich.pengantar
dan asas hukum pidana islam.sinar grafik.2004.hal:61
[5]Eni suharti. Kitap
undang-undang hukum pidana.redeksi sinar grafika. Jakarta. Cetakan ke9
[6] A.hanafi, M.A,..asas-asas
hukum pidana islam, bulan bintang, jakarta 1967, hal
[7] Dr.Jain Mubarok M.Ag,
Enceng Arif Faizal, S.Ag.kaidah fiqih jinayah.anggota IKPI. Jakarta.
2004. Hal: 178
[8] Musthofa Muhammad’imron.
Jawahir Al-Bukhori, maktabah At Tijariah Al kubro, kairo, hal, 1256 H, hal
271. . Drs.H.A Wardi Muslich.pengantar dan asas hukum pidana islam.sinar
grafik.2004.hal:61
[9] Ibid., juz.V,hal 2380
[10]
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 61
[11]
http://jamilncera.blogspot.com/2010/03/percobaan-melakukan-jarimah.html
[12] Ahmad Wardi Muslich,
Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 62
[13] Dr.Jain Mubarok M.Ag,
Enceng Arif Faizal, S.Ag.kaidah fiqih jinayah.anggota IKPI. Jakarta.
2004. Hal:180
[14] Ahmad Wardi Muslich,
Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 63
[16]
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm.64
[17] Abdul Qadir Audah, At
Tasyiri’ Al-jina’iy Al-Islam.Juz 1, Dar Al-kitab Al-Araby, bairut,.t.t,hal;351-352
[18] Ahmad Wardi Muslich,
Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm.66
[19] Jalaludin As-suyuti, al-jami’
juz II Dur. Al Fikr,t.t.,hal;168
[20] Eni suharti. Kitap
undang-undang hukum pidana.redeksi sinar grafika. Jakarta. Cetakan ke9
.
Play'n GO | Fortuna Casino
BalasHapusThe game of fortune is deccasino the only game where the player is in full control of the casino, the machine 바카라 사이트 he is playing. This is 카지노사이트 because