Kamis, 06 November 2014

PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH



makalah; muhammad shodik UIN SAUNAN AMPEL surabaya
BAB I
PENDAHULUAN

1.      latar belakang masalah
Jarimah adalah larangan-larangan Allah yang di ancam dengan hukuman had atau ta’zir, perbuatan yang dilarang itu dapat berupa sesuatu yang yang dilarang, dianggap jarimah apabila perbuatan tersebut telah dilarang oleh syara’. Yang mendorong sesuatu itu di anggap jarimah adalah karena perbuatan tersebut dapat merugikan  kepada tata urutan masyarakat atau kehidupan anggota masayarakat atau pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara meskipun adakalanya jarimah justru membawa keuntungan ini tidak menjadi pertimbangan syara’ oleh karena itu syara’ melarang yang namanya jarimah karena dari segi kerugiannya itulah yang di utamakan dalam pertimbangan. Jarang kita temukan perbuatan membawa keuntungan semata-mata  atau menimbulkan kerugian semata tetapi setiap perbuatan akan membawa akibat campuran, antara keuntungan dan kerugian, sesuai dengan tabi’atnya manusia akan memilih banyak keuntungannya dari pada kerugiannya meskipun akan merugikan masyarakatnya.
Di dalam membahas jarimah kita akan menemukan yang namanya unsur materiil jarimah yaitu perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat. Dalam unsur jarimah zina unsur materiilnya adalah adalah hal yang merusak keturunan, sedangkan dalam jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah hal atau perbuatan yang menghilangkan nyawa seseorang. Unsur materiil ini akan mencakup  tiga masalah pokok yaitu tentang jarimah yang telah selesai, jarimah yang belum selesai atau percobaan dan turut serta dalam melakukan jarimah.
Di samping itu perbuatan-perbuatan tersebut adakalanya telah selesai di lakukan dan adakalnya tidak selesai karena ada sebab-sebab tertentu dari luar. Dalam hukum positif jarimah yang tidak selesai ini disebut perbuatan percobaan (الشروع). Disamping itu perbuatan tersebut adakalanya dilakukan oleh seorang saja maupun beberapa orang bersama-sama dengan orang lain yang di sebut dengan turut serta melakukan jarimah (الاءشتراك).
2.      Permasalahan
Dalam makalah ini ada beberapa permasalahan yang akan di bahas, diantaranya:
1)      Percobaan melakukan jarimah dan hukumannya
2)      Fase pelaksanaan jarimah
3)      Macam-macam tidak selesainya perbuatan jarimah dan  hukumannya

BAB II
PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH


A.    Pengertian Jarimah
Pengertian jinayah dalam bahasa indonesia di artikan sebagai tindakan yang salah, dari segi bahasa jatimah merupakan kata jadian(masdar) dengan kata asal jaramah yang artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arati perbuatan salah.[1] Dari segi istilah, Al-Mawardi mendefinisikan jarimah:
مَحْظُوْارَتٌ شَرْعِيَّةُ زَجَرَاللّه تَعَلئ عَنْهَابِخَدًّاَوْتَعْزِيْرِ
Larangan-laranagan syara’ yang di ancam oleh ALLAHdengan hukuman had atau ta;zir.

B.     Percobaan Melakukan Jarimah
Dalam Pasal 45 kitab undang-undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan tentang pengertian percobaan sebagai berikut:
الشُّرُوْعُ...بِأَنَّهُ البَدْءُفِى تَنْفِيْذِفِعْلِ بِقَصْدِارْتِكَابِ جِنَايَتةٍإذَاأوْقَفَ أوْخَابَ أثَرُهُ لِأَسَبَابِ لاَدخْلَل لِإِرَادةِالفَاعِلِ فيهَا.
Percobaan adalah mulai melaksanakan suatau perbuatan dengan makasud melakukan (jinayah atau jinhah), tetapai perbuatan tersebut teidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku.[2]
ان الش وع في الجريمةلايعاقب عليه بقصاص ولاحدوانما يعاقب عليه بالتعزيراياكان نوعالجريمة
Percobaan melakukan jarimiah, apapun jarimiahnya, tidak bisa dikenai hukuman qishash atau hudud melainkan ta’kzir.[3]
Kaidah ini mengandung arti bahwa percobaan melakukan jarimah hudud atau qisas tidaka dapat dikategorikan telah melakukan jarimah tersebut secara sempurna sehingga tidak bisa dikenai had atau qishash, melainkan takzir. Hukuman itu pun diberikan jika diantara rangkaian percobaan tersebut telah dapat dikategorikan perbuatan maksiad.

1.      Percobaan Menurut Para Fuqoha
Istilah percobaan dikalangan tidak kita dapati. Akan tetapi, apabila definisi tersebut ita perhatikan maka apa yang dimaksud dengan istilah tersebut juga terdapat pada mereka, karena dikalangan mereka juga dibicarakan tentang pemisahan antara jarimahyang sudah selesai dan juga jarimah yang tidak selesai. Tidak adanya perhatian para fuqaha secara khusus terhadap jarimah percobaan oleh kedua hal.
1)      Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qisas. Melainkan dengan hukuman tak’zir bagaimanapun macamnya jarimah-jarimah ­itu. Para fuqaha lebih banyak memperhatikan jarimah-jarimah hudud  dan qishash, karna unsur dan syarat-syaratnya sudah tetap tanpa mengalami perubahan. Takzir juga dapat mengalami perubahan sesuai dengan perubahan masyarakat. Oleh karena itu, para fuqaha tidak mencurahkan perhatian dan pembicaraan secara khusus dan tersendiri karena percobaan melakukan jarimah sudah termasuk jarimah ta’zir.
2)       Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara’tantang hukuman untuk jarimah ta’zir maka aturan-aturan yang khusus utuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau khifarat. Percobaan yang pengertian sebagai mana dikemukakan di atas adalah mulai melakukan suatu perbuatan yang dilarang tetapi tidak selesai, termaksuk pada maksiat yang hukumannya adalah tak’zir. Dengan demikian, percobaan sudah taermasuk kedalam kelompok ta’zir, sehingga para fuqaha tidak membahas secara khusus.[4]
Pendiri hukum pidana islam tenteng percobaan melakukan jarimah, lebih mencakup dari hukum positif, dari hukum islam sendiri setiap perbuatan percobaan dikenakan hukuman tanpa pengecualian, sedangkan dari hukum positif tidak semua percobaan dikenakan hukuman.menurut Pasal 54 KUHPidana Indonesia yang ber bunyi: Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana..[5] sedangkan dalam KUHP Mesir haya percobaan melakukan jarimah jinayah saja yang dapat dikenakan hukuman, sedangkan percobaan melakukan jarimah mukalafah tidak dikenakan hukuman (pasal 46 dan 47).[6]

2.      Fase-fase Pelaksanaan Jarimah
‘Abd al-Qadir ‘Awdah menjelaskan bahwa paling tidak ada tiga fase dalam proses melakukan perbuatan jarimah[7].
1)      Fase pemikiran atau perencanaan(marhalat al-tafkir)
Pemikiran dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syariat islam, seseorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau niat yang tarkandunga dalam hatinya. Halini didasarkan Hadis Nabi saw.
عَنْ أبى هُرَيْرَةَرضِى اللّه عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِىُّ ص م:إِنَّ اللّه تَجَاوَزَلِى عَنْ أُمَّتِى مَاوَسَوَسَتْ بِهِ صُدُوْرُهَا مَالَمْ تَعْمَلْ أَوْتَكَلَّم
Abu hurairah ra. Barkata:Nabi saw, telah bersabda: “sesungguhnya Allah mengampuni umatku karna aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belumdikerjakan atau diucapkan.”[8]
Sedangkan hadis dari ibnu abbas di sebutkan yang artinya: Ibnu abbas r.a., dari Nabi saw mengenai apa yang difirmankan Allah, beliau bersabdah: Sesungguhnya Allah mencatat amal-amal kebaikan, keburukan, dan diantara keduanya. Barangsiapa bermaksud berbuat baik tapi belummelaksanakannya, maka Allah mencatat sepuluh atau tujuh ratus kali lipat hingga tak terhingga. Barangsiapa bermaksud berbuat buruk(jahad) tetapi ia tidak melaksanakannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Jika ia melaksanakannya, maka Allah memcatat sebagai suatu keburukan saja.[9]
Ketentuan ini sudah terdapat dalam syari’at islam sejak mulai diturunkannya tanpa mengenal pengecualian. Akan tetapi, hukum positif baru mengenalnya pada akhir abad ke 18 Masehi, yaitu sesudah revolusi Prancis. Sebelum masa itu niat dan pemikiran terhadap perbuatan jarimah dapat dihukum kalau dapat dibuktikan.[10] Pada hukum positif terhadap aturan tersebut ada pengecualiannya.
Sebagai contoh ialah adanya perbedaan pada hukum pidana Perancis dan RPA antara pembunuhan sengaja yang direncanakan terlebih dahulu dengan pembunuhan biasa yang tidak direncanakan terlebih dahulu, dimana untuk pembunuhan pertama dikenakan hukuman yang lebih berat dari pada hukuman pembunuhan macam kedua. KUHP RPA terhadap pembunuhan berencana dikenakan hukuman mati, dan terhadap pembunuhan biasa dikenakan hukuman kerja berat seumur hidup atau sementara (pasal 230 dan 234).
Menurut KUHP Indonesia, karena pembunuhan berencana dihukum mati atau dihukum penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, dan kerana pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama lamanya lima belas tahun.[11] Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 338 dan 340 KUH Pidana.
a.       a Pasal 338: Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.
b.      b Pasal 340: Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.[12]
2)      Fase persiapan(marhalat al-tahdhir)
Pada fase ini, posisi percoba’an ditentukan oleh sifat dari perbuatannya. Perbuatan percobaan dapat dikategorikan percobaan jarimah jika perbuatan tersebut termasuk perbuatan maksiat. Suatau perbuatan dapat dikategorikan perbuatan maksiat jika perbuatan tersebut telah melanggar hak-hak Allah (jarimah) dan hak-hak manusia. Pada fase ini terdapat dua kemungkinan. Pertama, kegiatan persiapan belum dikategorikan perbuatan jarimah jika kegiatan persiapan tersebut bukan maksiat. Kedua, kegiatan persiapan dikategorikan perbuatan jarimah jika kegiatan persiapan tersebut termasuk perbuatan maksiat.[13]
              Akan tetapi menurut mazhab Hambali dan Maliki, perbuatan persiapan dianggap sebagai perantara kepada perbuatan yang haram dan hukumnya adalah haram, sehingga dengan demikian pelakunya dikenakan hukuman. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah: ”ibn Al Qayyin menegaskan bahwa perantara kepada yang haram adalah haram dan perbuatan persiapan jelas merupakan perantara kepada yang haram, sehingga hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman tetapi bukan dengan hukuman pokoknya”.
              Dengan demikian jelaslah bahwa mazhab hambali sebagaimana digambarkan oleh Ibn Al Qayyim dan gurunya Ibn Taimiyah, menganggap perantara kepada jarimah sebagai jarimah. Demikian juga perbuatan-perbuatan persiapan yang disiapkan untuk membentuk dan melaksanakan jarimah merupakan jarimah juga.[14]
3)      Fase pelaksanaan(marhalat al-tahfidz)
              Pada fase inilah perbuatan si pembuat dianggap sebagai jarimah. Untuk dihukum, tidak menjadi persoalan, apakah perbuatan tersebut merupakan permulaan pelaksanaan unsur materiil jarimah atau tidak, melainkan cukup dihukum apabila perbuatan itu berupa ma'siat, yaitu yang berupa pelanggaran atas hak masyarakat dan hak perseorangan, dan dimaksudkan pula untuk melaksanakan unsur materiil, meskipun antara perbuatan tersebut dengan unsur materiil masih terdapat beberapa langkah lain. Pada pencurian misalnya, melobangi tembok, membongkar pintu dan sebagainya dianggap sebagai ma'siat yang dijatuhi hukuman ta'zir, dan selanjutnya dianggap pula sebagai percobaan pencurian, meskipun untuk terwujudanya perbuatan pencurian masih terdapat perbuatan-perbuatan lain lagi, seperti masuk rumah, mengambil barang dari almari, dan membawanya keluar dan sebagainya. Jadi ukuran perbuatan dalam percobaan yang bisa dihukum ialah apabila perbuatan tersebut berupa ma'siat. Dalam hal ini niatan dan tujuan pembuat sangat penting artinya untuk menentukan apakah perbuatan itu ma'siat (salah) atau tidak. Dengan demikian kriteria untuk menentukan permulaan pelaksanaan jarimah dan merupakan percobaan yang bisa dihukum adalah apabila perbuatan tersebut sudah merupakan maksiat. Disamping itu, niat dan tujuan pelaku juga sangat penting untuk menentukan apakah perbuatan itu merupakan maksiat atau bukan.
              Hukum positif sama pendapatnya dengan hukum Islam tentang tidak adanya hukuman pada fase pemikiran atau perencanaan dan persiapan serta membatasi hukuman pada fase pelaksanaan. Akan tetapi, sarjana-sarjana hukum positif berbeda pendapatnya tentang penentuan saat permulaan pelaksanaan tindak pidana itu. Sedangkan menurut aliran objektif, saat tersebut adalah ketika pelaku melaksanakan perbuatan mareriil yang membentuk suatu jarimah. Kalau jarimah tersebut terdiri dari satu perbuatan juga maka percobaan jarimah itu adalah ketika memulai perbuatan tersebut. Kalau jarimah tersebut terdiri dari dari beberapa perbuatan maka memulai salah satunya dianggap melakukan perbuatan jarimah tersebut. Sedangkan menurut aliran subjektif, untuk dikatakan melakukan percobaan cukup apabila pelaku telah memulai sesuatu pekerjaan apa saja yang menunjukan kekuatan maksudnya untuk melakukan kejahatan.[15]

3.      Sebab Tidak Selesaianya Perbuatan
Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan karena salah satu dari dua hal sebagai berikut.
1)      Adakalanya terpaksa, misalnya tertangkap.
2)      Adakalanya karena kehendak sendiri[16]. Berdasarkan kehendak sendiri ini ada dua macam:
a)      Bukan karena taubat, dan
b)      Karena taubat[17].
Kalau tidak selesainya jarimah karena terpaksa maka pelaku tetap harus dikenakan hukuman, selama perbuatan itu sudah bisa dikategorikan ma’siat. Demikian pula kalau pelaku tidak menyelesaikan jarimahnya karena kehendak sendiri tetapi bukan karena taubat. Akan tetapi,apabila tidak selesainya itu karena taubat dan kesadaranya maka jarimahnya itu adakalanya jarimah hirabah dan adakalanya bukan jarimah hirabah. Apabila jarimah itu jarimah hirabah maka pelaku dibebaskan dari hukuman. Hal ini berdasarkan firman Allah surat Al-Maidah 34:
žwÎ) šúïÏ%©!$# (#qç/$s? `ÏB È@ö6s% br& (#râÏø)s? öNÍköŽn=tã ( (#þqßJn=÷æ$$sù žcr& ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÍÈ  
kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang(surat Al-Maidah 34).
Apabila jarimah itu jarimah bukan hirabah maka pengaruh taubat disini masih diperselisihkan oleh para fuqoha. Dalam hal ini ada tiga pendapat:
1).Pendapat fuqoha dari madzab Syafi’I dan Hambali, taubat bisa menghapuskan hukuman. Alasanya adalah:
a.       Alquran menyatakan hapusnya hukuman untuk jarimah hirabah, sedangkan jarimah hirabah adalah jarimah paling berbahaya. Kalau taubat dapat menghapuskan hukuman untuk jarimah yang paling berbahaya maka lebih-lebih untuk jarimah yang lain.
b.      Dalam menyebutkan beberapa jarimah, Alquran selalu mengiringinya dengan pernyataan bahwa taubat dapat menghapuskan hukuman. Misalnya dalam hukuman zina yang pertama kali diadakan dalam surah An-Nisaa’ 16:
Èb#s%©!$#ur $ygÏY»uŠÏ?ù'tƒ öNà6ZÏB $yJèdrèŒ$t«sù ( cÎ*sù $t/$s? $ysn=ô¹r&ur (#qàÊ̍ôãr'sù !$yJßg÷Ytã 3 ¨bÎ) ©!$# tb$Ÿ2 $\/#§qs? $¸JÏm§ ÇÊÏÈ  

Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, Maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, Maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang(Surah An-Nisaa;16).

2).Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, taubat tidak menghapuskan hukuman, kecuali untuk jarimah hirabah yang sudah ada ketentuanya. Karena kedudukan hukuman adalah sebagai kifarat maksiat. Disamping itu kalau taubat semata-mata dapat hukuman dapat terhapus, maka akibatnya ancaman hukuman tidak berguna, sebab setiap pelaku jarimah tidak sukar mengatakan telah bertaubat.
3).Menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Al Qayyim dari pengikut madzab Hambali, hukuman dapat membersihkan maksiat dan taubat dapat menghapus hukuman untuk jaarimah-jarimah yang berhubungan dengan hak Allah (hak masyarakat), kecuali apabila pelaku minta untuk di hokum maka ia bisa dijatuhi hukuman walaupun ia telah bertaubat.
Pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim kelihatanya merupakan jalan tengan yang mengompromikan pendapat pertama dan kedua yang saling bertentangan. Walaupun demikian pengaruh taubat terhadap hukuman menurut pendapat kedua imam ini, hanya berlaku dalam jarimah yang menyinggung hak masyarakat saja. Sedangkan dalam jarimah yang menyinggung hak individu taubat tetap tidak berpengaruh terhadap hukuman.[18]
4.      Hukuman untuk Jarimah Percobaan
Menurut ketentuan pokok dalam syariat Islam yang berkaitan dengan jarimah hudud dan qisash, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah yang telah selesai, tidak boleh diberlakukan untuk jarimah yang belum selesai (percobaan). Ketentuan ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Nu’mam ibnu Basyir bahwa rosullulah saw, bersabdah:
مَنْ بَلَغَ حَدًافِى غَيْرِحَدٍّفَهُوَمِنْ المُعْتَدِيْنَ

Barang siapa yang mencapai (melaksanakan) hukuman had bukan dalam jarimah hudud maka ia termasuk orang yang melampaui batas.[19]
Percobaan melakukan zina tidak boleh dihukum dengan had zina, yaitu jilid seratus kali atau rajam. Demikian pula percobaan pencurian tidak boleh dihukum dengan had pencurian, yaitu potong tangan. Dengan demikian, hukuman untuk jarimah percobaan adalah hukuman ta’zir itu sendiri.
Dalam KUHP Indonesia, hukuman untuk percobaan ini terancam dalam Pasal 53 ayat (2) KUHPidana yang berbunyi:
1)      Maksimum itu pidana pokok yang diancam atas kejahatan itu dikurangi sepertiganya.
2)      Jika kejahatan itu dapat dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup maka dijatuhi pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun[20]


[1] Drs.Mahrus munajad. M.Hum.dekontruksi hukum pidana.logung pustaka.2004.hal:3
[2] Drs.H.A Wardi Muslich.pengantar dan asas hukum pidana islam.sinar grafik.2004.hal:60
[3] Dr.Jain Mubarok M.Ag, Enceng Arif Faizal, S.Ag.kaidah fiqih jinayah.anggota IKPI. Jakarta. 2004. Hal: 177
[4]  Drs.H.A Wardi Muslich.pengantar dan asas hukum pidana islam.sinar grafik.2004.hal:96. Drs.H.A Wardi Muslich.pengantar dan asas hukum pidana islam.sinar grafik.2004.hal:61
[5]Eni suharti. Kitap undang-undang hukum pidana.redeksi sinar grafika. Jakarta. Cetakan ke9
[6] A.hanafi, M.A,..asas-asas hukum pidana islam, bulan bintang, jakarta 1967, hal
[7] Dr.Jain Mubarok M.Ag, Enceng Arif Faizal, S.Ag.kaidah fiqih jinayah.anggota IKPI. Jakarta. 2004. Hal: 178
[8] Musthofa Muhammad’imron. Jawahir Al-Bukhori, maktabah At Tijariah Al kubro, kairo, hal, 1256 H, hal 271. . Drs.H.A Wardi Muslich.pengantar dan asas hukum pidana islam.sinar grafik.2004.hal:61
[9] Ibid., juz.V,hal 2380
[10] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 61
[11] http://jamilncera.blogspot.com/2010/03/percobaan-melakukan-jarimah.html
[12] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 62
[13] Dr.Jain Mubarok M.Ag, Enceng Arif Faizal, S.Ag.kaidah fiqih jinayah.anggota IKPI. Jakarta. 2004. Hal:180
[14] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm. 63

[15] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm.64
[16] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm.64
[17] Abdul Qadir Audah, At Tasyiri’ Al-jina’iy Al-Islam.Juz 1, Dar Al-kitab Al-Araby, bairut,.t.t,hal;351-352
[18] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Hlm.66
[19] Jalaludin As-suyuti, al-jami’ juz II Dur. Al Fikr,t.t.,hal;168
[20] Eni suharti. Kitap undang-undang hukum pidana.redeksi sinar grafika. Jakarta. Cetakan ke9
 


.


1 komentar:

  1. Play'n GO | Fortuna Casino
    The game of fortune is deccasino the only game where the player is in full control of the casino, the machine 바카라 사이트 he is playing. This is 카지노사이트 because

    BalasHapus