Selasa, 04 November 2014

makalah hukum pidana HAL- HAL YANG MENGAKIBATKAN GUGUR HUKUM TINDAK PIDANA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, ada istilah “gugurnya hak penuntutan” atau hapusnya hak penuntutan. Sebenarnya bagaimana hal itu bisa terjadi? apakah akibatnya? untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan seperti itu, makalah ini dibuat.
Oleh undang – undang ditentukan bahwa hak penuntutan hanya ada pada penuntut umum yaitu jaksa, yang diberi wewenang oleh kitab undnag – undang hukum acara pidana no 8. tahun 1981 (pasal 13 dan 14) di lingkungan peradilan umum dan oditur militer berdasarkan pasal 17 ayat (3) undang – undang no. 1 DRT tahun 1958 di lingkungan peradilan militer.
a)      pengertian penuntutan
pengertian penuntutan ditentukan secara otentik di pasal 1 ayat (7) KUHAP yang berbunyi “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang – undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
b)      yang bertugas menuntut atau penuntut umum
yang bertugas menuntut atau penuntut umum ditentukan di pasal 13 jo pasal 1 ayat (6) pada dasarnya berbunyi : “penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang – undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”.
c)      wewenang atau hak penuntut umum
wewenang penuntut umum ditentukan pada pasal 14 KUHAP. Wewenang jaksa tidak diatur di KUHAP. Harus dicari undang – undang pokok kejaksaan nomor 15 tahun 1961. wewenang penuntut umum yang dicantumkan dalam pasal 14 tersebut tidak kurang dari 10 macam mulai dari menerima berkas penyidikan sampai dengan melaksanakan penetapan hakim. Apabila kesepuluh macam itu adalah wewenang penuntut umum dan penuntut umum yang melakukan penuntutan, maka penafsiran secara tata bahasa wewenang penuntutan yang dimiliki oleh penuntut umum adalah juga yang sepuluh macam itu.
B.     Identifikasi Masalah
Bagaimana bila seorang tersangka meninggal saat masih dalam proses penyidikan, apakah yang terjadi pada penuntutannya?
Dalam tindak pidana ekonomi, seperti apa pelaksanaan tuntutannya apabila terdakwa meninggal.
                                                                                      

BAB II
Hal-hal yang Mengakibatkan Gugur Hukum Tindak Pidana

A.    Gugurnya hak menuntut dan gugurnya hukuman
Gugurnya hak menuntut hukuman ditentukan: [1]
a)      kracht van gewisjde zaak (mutlaknya perkara yang telah terputus) pasal 76.
b)      Matinya terdakwa, pasal 77
c)      Lewat waktu (verjaring), pasal 78 – 80
d)     Penyelesaian di luar pengadilan (afdoening buiten proces) pasal 82
Alasan – alasan gugurnya menjalani hukuman adalah
a)      matinya terhukum, pasal 83
b)      lewat waktu, pasal 84 – 85
Dahulu itu, alasan – alasan tersebut dianggap alasan gugurnya wewenang melaksanakan hak menuntut hukuman dan gugurnya wewenang melaksanakan hukuman, sedangkan pada zaman sekarang alasan – alasan tersebut dilihat sebagai alasan gugurnya hak menuntut hukuman dan gugurnya hukuman itu sendiri.[2]
Di luar KUHP, masih ada beberapa alasan yaitu[3]:
a) grasi – menggugurkan menjalani hukuman atau sebagian hukuman.
Sifat grasi sekarang telah berbeda dari sifatnya semula. Pada permulaan, pada zaman kerajaan-kerajaan absolut di Eropa, grasi itu merupakan suatu anugrah raja, yaitu anugerah raja yang telah sudi mengampuni yang terhukum. Tetapi di negara modern, sesudah diadakannya badan-badan pengadilan yang berdiri tersendirinya badan-badan pengadilan ini diperkuat oleh ajaran trias politica – dan tiada lagi kemungkinan bagi badan eksekutif untuk secara langsung memperngaruhi peradilan, maka grasi itu lebih bersifat satu koreksi atas keputusan hakim, yaitu satu koreksi yang diadakan berdasarkan alasan-alasan yang diketahui sesudah hakim memutuskan perkara yang bersangkutan.
Sebagai alasan diberinya grasi dapat disebut antara lain:
    Kepentingan keluarga dari yang terhukum
    Yang terhukum pernah sangat berjasa bagi masyarakat
    Yang terhukum menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
    Yang terhukum berkelakuan baik dipenjara dan memperlihatkan keinsyafan atas kesalahannya.
Asas utama Undang-undang Grasi ini adalah:
Atas hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman yang tidak dapat diubah lagi, orang yang dihukum atau pihak lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden” – pasal 1. jadi, atas tiap-tiap hukuman dan oleh tiap-tiap yang terhukum dapat diajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Keputusan hakim telah tidak dapat diubah lagi, yaitu telah inkracht van gewijsde. Bukan hanya yang terhukum saja yang dapat memohon grasi, tetapi juga pihak lain, yaitu pihak ketiga, asal dengan permohonan grasi yang diajukan oleh pihak ketiga ini (pasal 6 ayat 4). Syarat tersebut terakhir ini tidak perlu dipenuhi apabila permohonan grasi itu diajukan karena jabatan Terkecuali permohonan grasi atas hukuman denda (pasal 4 ayat 1), maka tiap-tiap permohonan grasi menunda eksekusi (pelaksanaan) hukuman atau mempertangguhkannya apabila telah dimulai.
Permohonan grasi harus dimajukan kepasa Panitera pengadilan yang memutus pada tingkat pertama, atau jika permohonan bertembat tinggal diluar daerah hukum perngadilan yang berkepentingan atau jika Panitera pengadilan tidak ada ditempatnya, maka pemohon dapat memajukan permohonannya kepada pembesar daerahnya (pasal 6 ayat 1).
Grasi tidak akan diberi apabila sebelumnya tidak didengar pertimbangann dari beberapa instansi yang penting dan yang bersangkutan.
b) abolisi – menggugurkan hak menuntut hukuman.
Perundang-undangan mengenai abolisi tidak menjelaskan bagaimana definisi tentang abolisi. Yang biasanya dimaksud dengan abolisi itu adalah meniadakan wewenang dari Penuntut umum untuk menuntut hukuman.Abolisi itu diberi oleh Presiden atas kepentingan negara.Pemberian abolisi itu diputuskan oleh Presiden sesudah mendapat nasehat Mahkamah Agung (pasal 1).
c) amnesti – menggugurkan baik hak menuntut hukuman maupun menjalani hukuman.
Perundang-undangan mengenai amnesti juga tidak menjelaskan definisi tentang amnesti. Biasananya ambesti adalah wewenang yang lebih luas lagi, yaitu manesti tidak hanya meniadakan wewenang untuk menuntut hukuman tetapi pula wewenang untuk menuntut hukuman tetapi pula wewenang untuk mengeksekusi hukuman, baik dalam hal eksekusi itu belum dimulai maupun dalam hal eksekusi itu telah dimulai. Amnesti itu diberi oleh Presiden atas kepentingan negara.

B.  Ne bis In Idem
Kracht van gewijsde zaak tidak sama dengan inkracht van gewijsde. Keputusan hakim adalah inkracht van gewijsde apabila keputusan itu tidak lagi dapat dibantah dengan memakai satu alat hukum biasa (seperti verzet, bandingan atau kasasi). Tetapi suatu keputusan hakim yang inkracht van gewijsde belum tentu merupakan kracht van gewijsde zaak, yaitu apabila tentang zaak (perbuatan) sendiri oleh hakim masih belum dibuat satu keputusan.
Yang dimaksud dengan kracht van gewijsde zaak adalah asas ne bis in idem, yaitu orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya karena satu perbuatan (feit) yang telah dilakukannya dan terhadap perbuatan itu telah dijatuhkan keputusan hakim yang tidak lagi dapat diubah atau ditiadakan. Jonkers menyebutkan tiga macam keputusan hakim yang memutuskan tentang perbuatan sendiri, yaitu :
a)      penghukuman (veroordeling) – hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang menjadi tuduhan terhadapnya serta terdakwa bersalah karena melakukannya.
b)      Pembebasan dari penuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging) – hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang menjadi tuduhan terhadapnya tetapi terdakwa, yaitu pembuat (dader), tidak dapat dijatuhi hukuman karena alasan – alasan yang mengecualikan dijatuhkan hukuman (strafuitsluitingsgronden) atau perbuatan yang menjadi tuduhan, seperti yang dicantumkan dalam pendakwaan, tidak dapat hukum.
c)      Pembebasan (keputusan bebas, vrijspraak) – hakim memutuskan bahwa kesalahan terdakwa atas perbuatan yang menjadi tuduhan tidak terbukti. Perlu ditegaskan bahwa pembebasan itu mempunyai sifat negatif, yaitu pembebasan tidak menyatakan bahwa terdakwa atas melakukan perbuatan itu tidak terbukti. Mungkin sekali terdakwa memang melakukan perbuatan itu tapi dalam sidang di muka hakim hal itu tidak dapat dibuktikan.
Apabila dibuat satu keputusan hakim seperti salah satu di atas, maka berlaku asas ne bis in idem. Asas ne bis in idem tidak hanya terdapat dalam buku hukum pidana tapi juga dalam hukum privat. Rasio asas ini;
Tiap perkara harus diselesaikan secara definitif. Pada saat tertentu penyelidikan fakta – fakta dan menjalankan undang – undang pidana berhubung dengan adanya fakta – fakta itu harus berakhir. Negara harus membuat satu keputusan akhir yang tidak dapat diubah. Sikap yang bertele – tele tidak dapat menyelesaikan satu perkara dengan membuat keputusan yang definitif, sangat merugikan kewibawaan negara sendiri; dan tujuan tiap peraturan hukum adalah memberi kepastian hukum sebesar – besarnya bagi individu dan masyarakat. Individu tidak akan merasa aman selama pemerintah masih dapat mengadakan tuntutan hukum terhadapnya, sedangkan beberapa golongan tertentu dalam masyarakat merasa gelisah selama belum ada kepastian tentang nasib individu yang menjadi anggota salah satu di antara beberapa golongan itu.
Syarat – syarat agar suatu perkara tidak dapat diperiksa kedua kalinya adalah:[4]
a)      perbuatan yang didakwakan (untuk kedua kalinya) adalah sama (dengan yang didakwakan terdahulu).
b)      Pelaku yang didakwa (untuk kedua kalinya) adalah sama.
c)      Untuk putusan yang pertama terhadap tindakan yang sama itu, telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Ayat (2) pasal 76 membatasi ketentuan ne bis in idem apabila putusan yang sudah mempunyai kekuatan tetap itu berasal dari hakim yang bukan hakim Indonesia. Dalam hal ini ne bis in idem hanya diterapkan apabila;
Ke-1 : putusan itu berupa pembebasan dari dakwaan (vrijspraak) atau pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging);
Ke-2 : putusan itu berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau untuk pemidanaan itu iua beroleh grasi, atau pelaksanaan pidana tersebut telah daluwarsa.

C.    Penyelesaian di luar sidang / transaksi
                   Penghapusan hak penuntutan bagi penuntut umum yang diatur dalam pasal 82 mirip dengan ketentuan hukum perdata mengenai transaksi atau perjanjian. Di satu pihak penyidik atau penuntut umum dan pihak lainnya tersangka merupakan pihak – pihak yang sederajat terhadap hukum. Dalam perjanjian ini penuntut umum wajib menghentikan usaha penuntutannya (bahkan haknya untuk menuntut dihapuskan), dan sebagai imbalannya tersangka wajib membayar maksimum denda yang hanya satu – satunya diancamkan, ditambah dengan biaya penuntutan apabila usaha penuntutan sudah dimulai.
                   Pembayaran harus dilakukan kepada penuntut umum dalam waktu yang telah ditetapkan oleh penuntut umum tersebut. Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa acara ini berasal dari hukum perdata, seperti halnya: “kebolehan pihak – pihak menyelesaikan suatu delik aduan“. Jelas bahwa cara ini bertentangan dengan sifat hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum publik. Namun demikian, dalam perkara – perkara kecil (dalam hal ini pelanggaran hanya diancam dengan pidana denda saja) sifat hukum publik itu perlu disimpangi untuk mempermudah dan mempercepat acara penyelesaiannya.
Dalam penerapan pasal 82 penuntut umum wajib menyelesaikan perkara tersebut di luar sidang apabila tersangka dengan sukarela memenuhi ketentuan – ketentuan dalam pasal 82 tersebut. Karena dengan pernyataan tersangka akan membayar maksimum denda pada waktu dan tempat yang ditentukan oleh penuntut umum / pejabat yang berwenang, hak penuntutan penuntut umum telah hapus. Apabila pernyataan sukarela itu tidak dipenuhi dalam waktu dan pada tempat yang ditentukan, jika perlu dengan perpanjangan waktu satu kali, barulah timbul kembali hak penuntutan penuntut umum.[5]




BAB III
ANALISIS

A.    Tersangka meninggal saat proses penyidikan
Apabila tersangka meninggal saat proses penyidikan masih berlangsung, maka sesuai dengan pasal 109 ayat (2) KUHAP, penyidikan akan dihentikan demi hukum dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan kepada Penuntut Umum dan keluarga almarhum.[6] Apabila kematian tersangka pada ketika perkara telah dilimpahkan oleh penyidik pada penuntut umum tapi belum dilimpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan atau belum dilakukan penuntutan ke pengadilan, maka jaksa penuntut umum akan ’menutup perkara demi hukum’, sesuai dengan pasal 102 ayat (2) KUHAP. Penutupan perkara akan dilakukan dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penutupan Perkara ke Penyidik dan keluarga almarhum.

B.       Tersangka meninggal saat proses penyidikan
Istilah tindak pidana ekonomi lebih diartikan sebagai tindak pidana yang termuat dalam UU No. 7/DRT/1955. lebih dikenal penyelundupan sebagai tindak pidana ekonomi. [7]
Tindak pidana ekonomi yang termuat dalam undang – undang no 7 drt 1955, dalam teori dikenal sebagai tindak ekonomi dalam arti sempit. Sedangkan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah seluruh tindak pidana di bidang perekonomian di luar undang – undang tersebut. Yakni ketentuan dalam perundang – undangan non hukum pidana di bidang perekonomian yang memuat aturan pidana di dalamnya.
Pasal 1 ayat (1) sub a dan b undang – undang no. 3 tahun 1971 menyatakan bahwa yang dirugikan dalam tindak pidana ekonomi adalah keuangan atau perekonomian Negara. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan mereka yang memperkaya diri dengan merugikan keuangan atau perekonomian negara bukan saja dianggap telah melakukan korupsi akan tetapi juga telah melakukan tindak pidana ekonomi dalam arti luas.[8]
Pasal 77 menentukan bahwa ”kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia”. Ketentuan ini berlatar belakang pada sifat pribadi dari pertanggungjawaban pidana dan pembahasan dari suatu pidana, dan dengan demikian tidak diperlukannya lagi pidana bagi orang yang sudah meninggal. Bila si pembuat meninggal dunia sebelum pidana dijatuhkan tidak diperlukan tindakan penuntutan untuk pada akhirnya menjatuhkan pidana terhadapnya, karena bila dijatuhkan pidana pun tidak ada manfaatnya. Walaupun sesungguhnya dari sudut yang lain, ada juga manfaatnya bagi almarhum terdakwa agar penuntutan tetap dilanjutkan yaitu dalam hal apabila terdakwa tersebut memang tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yang apabila majelis hakim tidak melakukan kesalahan pada akhirnya ia akan diputus pembebasan. [9]
Tetapi untuk tindak pidana ekonomi ( undang – undang no.7 Drt tahun 1955), ketentuan pasal 77 itu disimpangi pasal 16 ayat (1) undang – undang tindak pidana ekonomi ini merumuskan:
”jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atau perkaranya ada putusan yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat:
a)      memutus perampasan barang – barang yang telah disita. Dalam hal itu pasal 10 undang – undang darurat ini berlaku sepadan;
b)      memutus bahwa tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan dilakukan dengan memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.”
Tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c ialah berupa:
”mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutkan keuntungan menurut taksiran, yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau dari tindak pidana – tindak pidana semacam itu dalam hal cukup bukti – bukti dilakukan oleh si terhukum.”
Ketika hukum acara pidana dalam HIR masih berlaku, terdapat ketentuan (pasal 367) yang mengecualikan ketentuan pasal 77 KUHP artinya dengan meninggalnya terdakwa tidak menyebabkan hapusnya kewenangan negara untuk menuntut pidana yakni dalam hal menuntut denda atau perampasan barang – barang tertentu dalam perkara pidana mengenai penghasilan negara dan cukai dimana tuntutan dapat dilakukan kepada ahli warisnya atau wakilnya. Pemeriksaan dan pemutusan perkara terhadap ahli waris almarhum terdakwa atau wakilnya ini, dan demikian juga dalam hal juga menjalankan putusannya dilakukan menurut acara peradilan perkara perdata. Ketentuan dalam pasal 367 HIR ini tidak ditemukan dalam KUHAP sekarang.








[6] Adami Chazawi, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan, dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan, dan Ajaran Kausalitas Bagian 2, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005. hlm. 173
[7] Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana di Bidang Perekonomian, Jakarta, Datacom, 2002. hlm. 2

[8] Ibid, hlm. 4
[9] Adami Chazawi, Op.cit., hlm. 169-170

























[1] E. Utrecht, Hukum Pidana, Bandung, PT Penerbitan Universitas, 1958, hlm. 214
[2] Ibid, hlm. 215
[3] Ibid, hlm. 251-256
[4] E. Y. Kanter, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002. hlm. 431 – 432
[5] Ibid, Hlm. 433










Tidak ada komentar:

Posting Komentar