BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada
beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, ada istilah “gugurnya hak
penuntutan” atau hapusnya hak penuntutan. Sebenarnya bagaimana hal itu bisa
terjadi? apakah akibatnya? untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan seperti itu,
makalah ini dibuat.
Oleh
undang – undang ditentukan bahwa hak penuntutan hanya ada pada penuntut umum
yaitu jaksa, yang diberi wewenang oleh kitab undnag – undang hukum acara pidana
no 8. tahun 1981 (pasal 13 dan 14) di lingkungan peradilan umum dan oditur
militer berdasarkan pasal 17 ayat (3) undang – undang no. 1 DRT tahun 1958 di
lingkungan peradilan militer.
a) pengertian
penuntutan
pengertian penuntutan ditentukan
secara otentik di pasal 1 ayat (7) KUHAP yang berbunyi “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menuntut cara yang
diatur dalam undang – undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus
oleh hakim di sidang pengadilan.
b) yang
bertugas menuntut atau penuntut umum
yang bertugas menuntut atau
penuntut umum ditentukan di pasal 13 jo pasal 1 ayat (6) pada dasarnya berbunyi
: “penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undang – undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim”.
c) wewenang
atau hak penuntut umum
wewenang penuntut umum ditentukan
pada pasal 14 KUHAP. Wewenang jaksa tidak diatur di KUHAP. Harus dicari undang
– undang pokok kejaksaan nomor 15 tahun 1961. wewenang penuntut umum yang
dicantumkan dalam pasal 14 tersebut tidak kurang dari 10 macam mulai dari
menerima berkas penyidikan sampai dengan melaksanakan penetapan hakim. Apabila
kesepuluh macam itu adalah wewenang penuntut umum dan penuntut umum yang
melakukan penuntutan, maka penafsiran secara tata bahasa wewenang penuntutan
yang dimiliki oleh penuntut umum adalah juga yang sepuluh macam itu.
B.
Identifikasi
Masalah
Bagaimana
bila seorang tersangka meninggal saat masih dalam proses penyidikan, apakah
yang terjadi pada penuntutannya?
Dalam tindak
pidana ekonomi, seperti apa pelaksanaan tuntutannya apabila terdakwa meninggal.
BAB
II
Hal-hal
yang Mengakibatkan Gugur Hukum Tindak Pidana
A.
Gugurnya
hak menuntut dan gugurnya hukuman
Gugurnya
hak menuntut hukuman ditentukan: [1]
a)
kracht van
gewisjde zaak (mutlaknya perkara yang telah terputus) pasal 76.
b)
Matinya
terdakwa, pasal 77
c)
Lewat waktu
(verjaring), pasal 78 – 80
d)
Penyelesaian di
luar pengadilan (afdoening buiten proces) pasal 82
Alasan
– alasan gugurnya menjalani hukuman adalah
a)
matinya
terhukum, pasal 83
b)
lewat waktu,
pasal 84 – 85
Dahulu itu, alasan –
alasan tersebut dianggap alasan gugurnya wewenang melaksanakan hak menuntut
hukuman dan gugurnya wewenang melaksanakan hukuman, sedangkan pada zaman
sekarang alasan – alasan tersebut dilihat sebagai alasan gugurnya hak menuntut
hukuman dan gugurnya hukuman itu sendiri.[2]
Di luar KUHP, masih ada beberapa alasan
yaitu[3]:
a) grasi – menggugurkan menjalani
hukuman atau sebagian hukuman.
Sifat
grasi sekarang telah berbeda dari sifatnya semula. Pada permulaan, pada zaman
kerajaan-kerajaan absolut di Eropa, grasi itu merupakan suatu anugrah raja,
yaitu anugerah raja yang telah sudi mengampuni yang terhukum. Tetapi di negara
modern, sesudah diadakannya badan-badan pengadilan yang berdiri tersendirinya
badan-badan pengadilan ini diperkuat oleh ajaran trias politica – dan tiada
lagi kemungkinan bagi badan eksekutif untuk secara langsung memperngaruhi
peradilan, maka grasi itu lebih bersifat satu koreksi atas keputusan hakim,
yaitu satu koreksi yang diadakan berdasarkan alasan-alasan yang diketahui
sesudah hakim memutuskan perkara yang bersangkutan.
Sebagai
alasan diberinya grasi dapat disebut antara lain:
Kepentingan keluarga dari yang terhukum
Yang terhukum pernah sangat berjasa bagi masyarakat
Yang terhukum menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
Yang terhukum berkelakuan baik dipenjara dan memperlihatkan keinsyafan
atas kesalahannya.
Asas utama Undang-undang Grasi ini
adalah:
Atas hukuman yang
dijatuhkan oleh keputusan kehakiman yang tidak dapat diubah lagi, orang yang
dihukum atau pihak lain dapat memajukan permohonan grasi kepada Presiden” –
pasal 1. jadi, atas tiap-tiap hukuman dan oleh tiap-tiap yang terhukum dapat
diajukan permohonan grasi kepada Presiden.
Keputusan hakim telah
tidak dapat diubah lagi, yaitu telah inkracht van gewijsde. Bukan hanya yang
terhukum saja yang dapat memohon grasi, tetapi juga pihak lain, yaitu pihak
ketiga, asal dengan permohonan grasi yang diajukan oleh pihak ketiga ini (pasal
6 ayat 4). Syarat tersebut terakhir ini tidak perlu dipenuhi apabila permohonan
grasi itu diajukan karena jabatan Terkecuali permohonan grasi atas hukuman
denda (pasal 4 ayat 1), maka tiap-tiap permohonan grasi menunda eksekusi
(pelaksanaan) hukuman atau mempertangguhkannya apabila telah dimulai.
Permohonan grasi harus
dimajukan kepasa Panitera pengadilan yang memutus pada tingkat pertama, atau
jika permohonan bertembat tinggal diluar daerah hukum perngadilan yang
berkepentingan atau jika Panitera pengadilan tidak ada ditempatnya, maka
pemohon dapat memajukan permohonannya kepada pembesar daerahnya (pasal 6 ayat
1).
Grasi tidak akan diberi
apabila sebelumnya tidak didengar pertimbangann dari beberapa instansi yang
penting dan yang bersangkutan.
b) abolisi – menggugurkan hak menuntut
hukuman.
Perundang-undangan
mengenai abolisi tidak menjelaskan bagaimana definisi tentang abolisi. Yang
biasanya dimaksud dengan abolisi itu adalah meniadakan wewenang dari Penuntut
umum untuk menuntut hukuman.Abolisi itu diberi oleh Presiden atas kepentingan
negara.Pemberian abolisi itu diputuskan oleh Presiden sesudah mendapat nasehat
Mahkamah Agung (pasal 1).
c) amnesti – menggugurkan baik hak
menuntut hukuman maupun menjalani hukuman.
Perundang-undangan
mengenai amnesti juga tidak menjelaskan definisi tentang amnesti. Biasananya
ambesti adalah wewenang yang lebih luas lagi, yaitu manesti tidak hanya
meniadakan wewenang untuk menuntut hukuman tetapi pula wewenang untuk menuntut
hukuman tetapi pula wewenang untuk mengeksekusi hukuman, baik dalam hal
eksekusi itu belum dimulai maupun dalam hal eksekusi itu telah dimulai. Amnesti
itu diberi oleh Presiden atas kepentingan negara.
B. Ne bis In Idem
Kracht van gewijsde zaak tidak sama dengan inkracht
van gewijsde. Keputusan hakim adalah inkracht van gewijsde apabila keputusan
itu tidak lagi dapat dibantah dengan memakai satu alat hukum biasa (seperti
verzet, bandingan atau kasasi). Tetapi suatu keputusan hakim yang inkracht van
gewijsde belum tentu merupakan kracht van gewijsde zaak, yaitu apabila tentang
zaak (perbuatan) sendiri oleh hakim masih belum dibuat satu keputusan.
Yang dimaksud dengan kracht van gewijsde zaak adalah
asas ne bis in idem, yaitu orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya
karena satu perbuatan (feit) yang telah dilakukannya dan terhadap perbuatan itu
telah dijatuhkan keputusan hakim yang tidak lagi dapat diubah atau ditiadakan.
Jonkers menyebutkan tiga macam keputusan hakim yang memutuskan tentang
perbuatan sendiri, yaitu :
a)
penghukuman
(veroordeling) – hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang
menjadi tuduhan terhadapnya serta terdakwa bersalah karena melakukannya.
b)
Pembebasan dari
penuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging) – hakim memutuskan bahwa
terdakwa telah melakukan perbuatan yang menjadi tuduhan terhadapnya tetapi
terdakwa, yaitu pembuat (dader), tidak dapat dijatuhi hukuman karena alasan –
alasan yang mengecualikan dijatuhkan hukuman (strafuitsluitingsgronden) atau
perbuatan yang menjadi tuduhan, seperti yang dicantumkan dalam pendakwaan,
tidak dapat hukum.
c)
Pembebasan
(keputusan bebas, vrijspraak) – hakim memutuskan bahwa kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang menjadi tuduhan tidak terbukti. Perlu ditegaskan bahwa
pembebasan itu mempunyai sifat negatif, yaitu pembebasan tidak menyatakan bahwa
terdakwa atas melakukan perbuatan itu tidak terbukti. Mungkin sekali terdakwa
memang melakukan perbuatan itu tapi dalam sidang di muka hakim hal itu tidak
dapat dibuktikan.
Apabila dibuat satu keputusan hakim seperti salah
satu di atas, maka berlaku asas ne bis in idem. Asas ne bis in idem tidak hanya
terdapat dalam buku hukum pidana tapi juga dalam hukum privat. Rasio asas ini;
Tiap perkara harus diselesaikan secara definitif.
Pada saat tertentu penyelidikan fakta – fakta dan menjalankan undang – undang
pidana berhubung dengan adanya fakta – fakta itu harus berakhir. Negara harus
membuat satu keputusan akhir yang tidak dapat diubah. Sikap yang bertele – tele
tidak dapat menyelesaikan satu perkara dengan membuat keputusan yang definitif,
sangat merugikan kewibawaan negara sendiri; dan tujuan tiap peraturan hukum
adalah memberi kepastian hukum sebesar – besarnya bagi individu dan masyarakat.
Individu tidak akan merasa aman selama pemerintah masih dapat mengadakan
tuntutan hukum terhadapnya, sedangkan beberapa golongan tertentu dalam
masyarakat merasa gelisah selama belum ada kepastian tentang nasib individu
yang menjadi anggota salah satu di antara beberapa golongan itu.
Syarat
– syarat agar suatu perkara tidak dapat diperiksa kedua kalinya adalah:[4]
a) perbuatan
yang didakwakan (untuk kedua kalinya) adalah sama (dengan yang didakwakan
terdahulu).
b) Pelaku
yang didakwa (untuk kedua kalinya) adalah sama.
c) Untuk
putusan yang pertama terhadap tindakan yang sama itu, telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.
Ayat (2) pasal 76 membatasi ketentuan ne bis in idem apabila putusan yang
sudah mempunyai kekuatan tetap itu berasal dari hakim yang bukan hakim
Indonesia. Dalam hal ini ne bis in idem hanya diterapkan apabila;
Ke-1
: putusan itu berupa pembebasan dari dakwaan (vrijspraak) atau pelepasan dari
segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging);
Ke-2
: putusan itu berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau untuk
pemidanaan itu iua beroleh grasi, atau pelaksanaan pidana tersebut telah
daluwarsa.
C.
Penyelesaian
di luar sidang / transaksi
Penghapusan
hak penuntutan bagi penuntut umum yang diatur dalam pasal 82 mirip dengan
ketentuan hukum perdata mengenai transaksi atau perjanjian. Di satu pihak
penyidik atau penuntut umum dan pihak lainnya tersangka merupakan pihak – pihak
yang sederajat terhadap hukum. Dalam perjanjian ini penuntut umum wajib
menghentikan usaha penuntutannya (bahkan haknya untuk menuntut dihapuskan), dan
sebagai imbalannya tersangka wajib membayar maksimum denda yang hanya satu –
satunya diancamkan, ditambah dengan biaya penuntutan apabila usaha penuntutan
sudah dimulai.
Pembayaran
harus dilakukan kepada penuntut umum dalam waktu yang telah ditetapkan oleh
penuntut umum tersebut. Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa acara ini berasal
dari hukum perdata, seperti halnya: “kebolehan pihak – pihak menyelesaikan
suatu delik aduan“. Jelas bahwa cara ini bertentangan dengan sifat hukum pidana
yang merupakan bagian dari hukum publik. Namun demikian, dalam perkara –
perkara kecil (dalam hal ini pelanggaran hanya diancam dengan pidana denda
saja) sifat hukum publik itu perlu disimpangi untuk mempermudah dan mempercepat
acara penyelesaiannya.
Dalam penerapan pasal 82 penuntut umum wajib
menyelesaikan perkara tersebut di luar sidang apabila tersangka dengan sukarela
memenuhi ketentuan – ketentuan dalam pasal 82 tersebut. Karena dengan
pernyataan tersangka akan membayar maksimum denda pada waktu dan tempat yang
ditentukan oleh penuntut umum / pejabat yang berwenang, hak penuntutan penuntut
umum telah hapus. Apabila pernyataan sukarela itu tidak dipenuhi dalam waktu
dan pada tempat yang ditentukan, jika perlu dengan perpanjangan waktu satu
kali, barulah timbul kembali hak penuntutan penuntut umum.[5]
BAB
III
ANALISIS
A.
Tersangka
meninggal saat proses penyidikan
Apabila tersangka meninggal saat
proses penyidikan masih berlangsung, maka sesuai dengan pasal 109 ayat (2)
KUHAP, penyidikan akan dihentikan demi hukum dengan mengeluarkan Surat
Pemberitahuan Penghentian Penyidikan kepada Penuntut Umum dan keluarga
almarhum.[6]
Apabila kematian tersangka pada ketika perkara telah dilimpahkan oleh penyidik
pada penuntut umum tapi belum dilimpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan atau
belum dilakukan penuntutan ke pengadilan, maka jaksa penuntut umum akan
’menutup perkara demi hukum’, sesuai dengan pasal 102 ayat (2) KUHAP. Penutupan
perkara akan dilakukan dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penutupan
Perkara ke Penyidik dan keluarga almarhum.
B. Tersangka
meninggal saat proses penyidikan
Istilah tindak pidana ekonomi lebih
diartikan sebagai tindak pidana yang termuat dalam UU No. 7/DRT/1955. lebih
dikenal penyelundupan sebagai tindak pidana ekonomi. [7]
Tindak pidana ekonomi yang termuat
dalam undang – undang no 7 drt 1955, dalam teori dikenal sebagai tindak ekonomi
dalam arti sempit. Sedangkan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah
seluruh tindak pidana di bidang perekonomian di luar undang – undang tersebut.
Yakni ketentuan dalam perundang – undangan non hukum pidana di bidang
perekonomian yang memuat aturan pidana di dalamnya.
Pasal
1 ayat (1) sub a dan b undang – undang no. 3 tahun 1971 menyatakan bahwa yang
dirugikan dalam tindak pidana ekonomi adalah keuangan atau perekonomian Negara.
Sehingga dengan demikian dapat dikatakan mereka yang memperkaya diri dengan
merugikan keuangan atau perekonomian negara bukan saja dianggap telah melakukan
korupsi akan tetapi juga telah melakukan tindak pidana ekonomi dalam arti luas.[8]
Pasal
77 menentukan bahwa ”kewenangan menuntut
pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia”. Ketentuan ini berlatar
belakang pada sifat pribadi dari pertanggungjawaban pidana dan pembahasan dari
suatu pidana, dan dengan demikian tidak diperlukannya lagi pidana bagi orang
yang sudah meninggal. Bila si pembuat meninggal dunia sebelum pidana dijatuhkan
tidak diperlukan tindakan penuntutan untuk pada akhirnya menjatuhkan pidana
terhadapnya, karena bila dijatuhkan pidana pun tidak ada manfaatnya. Walaupun
sesungguhnya dari sudut yang lain, ada juga manfaatnya bagi almarhum terdakwa
agar penuntutan tetap dilanjutkan yaitu dalam hal apabila terdakwa tersebut
memang tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, yang apabila
majelis hakim tidak melakukan kesalahan pada akhirnya ia akan diputus
pembebasan. [9]
Tetapi
untuk tindak pidana ekonomi ( undang – undang no.7 Drt tahun 1955), ketentuan
pasal 77 itu disimpangi pasal 16 ayat (1) undang – undang tindak pidana ekonomi
ini merumuskan:
”jika ada cukup alasan untuk
menduga, bahwa seseorang yang meninggal dunia, sebelum atau perkaranya ada
putusan yang tak dapat diubah lagi, telah melakukan tindak pidana ekonomi maka
hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat:
a)
memutus
perampasan barang – barang yang telah disita. Dalam hal itu pasal 10 undang –
undang darurat ini berlaku sepadan;
b)
memutus bahwa
tindakan tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c dan dilakukan dengan
memberatkannya pada harta orang yang meninggal dunia itu.”
Tindakan
tata tertib yang disebut pada pasal 8 sub c ialah berupa:
”mewajibkan
membayar sejumlah uang sebagai pencabutkan keuntungan menurut taksiran, yang
diperoleh dari suatu tindak pidana atau dari tindak pidana – tindak pidana
semacam itu dalam hal cukup bukti – bukti dilakukan oleh si terhukum.”
Ketika
hukum acara pidana dalam HIR masih berlaku, terdapat ketentuan (pasal 367) yang
mengecualikan ketentuan pasal 77 KUHP artinya dengan meninggalnya terdakwa
tidak menyebabkan hapusnya kewenangan negara untuk menuntut pidana yakni dalam
hal menuntut denda atau perampasan barang – barang tertentu dalam perkara
pidana mengenai penghasilan negara dan cukai dimana tuntutan dapat dilakukan
kepada ahli warisnya atau wakilnya. Pemeriksaan dan pemutusan perkara terhadap
ahli waris almarhum terdakwa atau wakilnya ini, dan demikian juga dalam hal
juga menjalankan putusannya dilakukan menurut acara peradilan perkara perdata.
Ketentuan dalam pasal 367 HIR ini tidak ditemukan dalam KUHAP sekarang.
[6] Adami Chazawi, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan,
Pemberatan, dan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan, dan Ajaran Kausalitas
Bagian 2, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005. hlm. 173
[7] Loebby
Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana di
Bidang Perekonomian, Jakarta, Datacom, 2002. hlm. 2
[8] Ibid, hlm. 4
[9] Adami Chazawi, Op.cit., hlm.
169-170
[1] E. Utrecht, Hukum Pidana, Bandung, PT Penerbitan Universitas, 1958, hlm. 214
[2] Ibid, hlm. 215
[3] Ibid, hlm. 251-256
[4]
E. Y. Kanter, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002. hlm. 431 – 432
[5]
Ibid, Hlm. 433
Tidak ada komentar:
Posting Komentar